Oleh Mohamad Final Daeng
Sebagai negeri dengan jumlah gunung api aktif terbanyak di dunia, sangatlah pantas kiranya jika Indonesia memiliki ilmu pengetahuan dan wahana informasi seputar kegunungapian yang dapat diakses publik luas. Museum Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, menjawab kebutuhan itu.
Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dari lebih kurang 500 gunung api yang terdapat di seluruh Nusantara, sebanyak 129 di antaranya dikategorikan sebagai gunung api aktif. Itu mencakup sekitar 13 persen dari jumlah gunung api aktif di dunia.
Kondisi itu tercipta karena tatanan geologi Indonesia yang berada di tumbukan tiga lempeng aktif dunia, yakni Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Semua gunung api aktif itu membentuk ”busur” yang terbentang dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi, menjadi bagian dari apa yang disebut ”Cincin Api Pasifik”.
Gunung Merapi (2.968 meter di atas permukaan laut/dpl), yang posisinya berada di simpul empat kabupaten, yakni Klaten, Magelang, dan Boyolali (Jawa Tengah) serta Sleman (DIY), merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Karena itu, wahana informasi dan edukasi publik terkait kegunungapian dan Gunung Merapi menjadi sangat diperlukan.
Terletak di Dusun Banteng, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Museum Gunung Merapi (MGM) berdiri. Lokasinya di lereng selatan Merapi yang berjarak sekitar 20 kilometer arah utara Kota Yogyakarta.
Pemilihan lokasi tersebut bukan tanpa maksud. Selain merepresentasikan isi museum yang ”jualan” utamanya seputar kegunungapian, suasana alam pegunungan yang sejuk dan rindang menjadi daya tarik penting bagi pengunjung.
Terlebih lagi, status Kabupaten Sleman sebagai daerah pariwisata sekaligus sentra pendidikan di DIY menjadikannya lokasi yang sangat strategis karena sejalan dengan tujuan pembangunan MGM, yakni sarana pariwisata dan edukasi.
Patungan
MGM merupakan proyek patungan antara pemerintah pusat, Pemprov DI Yogyakarta, dan Pemkab Sleman.
Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, 5 Desember 2005, dan diresmikan penggunaannya 1 Oktober 2009.
Museum yang tergolong baru ini menempati lahan 3,5 hektar dengan luas bangunan 4.470 meter persegi, terdiri atas dua lantai. Desain bangunan merupakan kombinasi limas dan segitiga yang merepresentasikan bentuk gunung dan berbagai unsur budaya lokal, seperti rumah joglo, candi, dan Tugu Yogyakarta.
Memasuki museum, tepatnya di pelataran utama, pengunjung akan langsung disuguhi replika raksasa Gunung Merapi. Replika itu tidak sekadar pajangan, tetapi juga menyajikan simulasi letusan Merapi tahun 1969, 1994, dan 2006.
Dengan menekan salah satu tombol pilihan, asap buatan dari pucuk gunung dan efek cahaya merah yang menandakan jalur letusan akan muncul. Jika membutuhkan keterangan, pengunjung cukup menekan tombol ”narasi” yang menyajikan penjelasan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Ruang pamer museum di lantai satu terdiri atas dua bagian utama, yakni area umum dan khusus. Area umum menyuguhkan berbagai informasi berupa dokumentasi foto, gambar, dan data terkait gunung api secara umum, baik di dunia maupun di Indonesia.
Adapun area khusus ditujukan spesifik untuk membahas Merapi secara lengkap. Di antaranya, informasi seputar evolusi kubah sejak tahun 1786 hingga 2006, mitos-mitos lokal seputar Merapi, berbagai peralatan pemantauan aktivitas vulkanik, dan dokumentasi dampak letusan Merapi.
Dipajang juga berbagai peralatan rumah tangga dan sebuah sepeda motor warga Dusun Kaliadem yang menjadi korban keganasan awan panas Merapi saat letusan tahun 2006. Sebagai bagian dari tujuan mitigasi bencana, MGM juga memuat informasi cara-cara penyelamatan diri dan deteksi dini bahaya letusan gunung.
Satu atraksi menarik lain di lantai satu adalah plaza tematik Merapi. Ruangan berukuran sekitar 7 x 15 meter itu dibuat sebagai simulasi lingkungan yang serupa dengan kondisi di puncak Merapi. Pengunjung dapat merasakan proses erupsi Merapi melalui efek suara gemuruh dan tanah yang bergetar serta asap sulfat yang menyeruak.
Ivan (29), salah seorang pengunjung MGM yang ditemui hari Sabtu (23/1), mengaku puas dengan berbagai materi dan koleksi yang disajikan. ”Materi yang disajikan sarat informasi dan visualisasi. Saya jadi mudah menyerap pengetahuannya dan kemudian menjelaskannya kepada anak saya,” kata Ivan yang datang bersama istri dan putranya yang berusia tiga tahun.
Pengunjung lainnya, Purnomo, guru di SD Muhammadiyah Turi, Sleman, tengah menyurvei MGM untuk rencana kunjungan murid-muridnya dalam waktu dekat. ”Pengetahuan dari sini sangat penting buat pembelajaran anak-anak. Masak mereka tinggal dekat Merapi, tetapi tidak tahu apa-apa soal gunung berapi,” katanya.
Museum mainan anak
Di Yogyakarta juga ada museum dolanan anak. Museum yang bernama Kolong Tangga ini diklaim sebagai museum mainan anak tradisional pertama dan satu-satunya di Indonesia. Museum ini terletak di bawah kolong tangga masuk Gedung Konser Taman Budaya Yogyakarta. Diresmikan tahun 2008, museum tersebut setia memamerkan sekitar 400 mainan anak tradisional hingga kini walaupun ruang pameran seluas 4 x 15 meter persegi itu lebih sering sepi.
Sejumlah mainan asli Indonesia yang dimiliki Museum Kolong Tangga, di antaranya, adalah topeng kertas, replika merpati dari daun lontar, dan boneka-boneka kayu.
Mayoritas mainan berasal dari tahun 1940 sampai 1960 sehingga sudah sulit dijumpai pada masa kini. Tak hanya dari Indonesia, museum itu memiliki beragam mainan tradisional dari negara- negara di Eropa dan Asia, seperti India, China, dan Finlandia.
Tak cuma di Jakarta ada museum kebaharian. Di Yogyakarta juga ada Museum Bahari, Museum Perjuangan, Museum Dewantara Kirti Griya (museum khusus tentang tokoh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara), Museum Dirgantara, Museum Seni Lukis Affandi, Museum Kontemporer Nyoman Gunarsa, Museum Sasmitaloka Pangsar Sudirman, Museum Benteng Yogyakarta, dan masih banyak lagi.
Tak pelak, museum-museum ini layak menjadi salah satu kajian dan perhatian terkait dengan Tahun Kunjungan Museum yang dicanangkan pemerintah tahun 2010 ini.
(Eny Prihtiyani dan Irene Sarwindaningrum)
(Kompas, Sabtu, 6 Februari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar